Rabu, 24 Oktober 2012

Wakil Rakyat Teladan

Sering kita dengar orang mengatakan bahwa orang Indonesia itu kalau di Singapura bisa berlaku tertib, sedangkan di negaranya sendiri, di Indonesia, tidak pernah tertib. Kebanyakan bilang salah satu alasannya adalah karena hukum dan peraturan ketertiban  di Singapura ditegakkan dengan benar-benar. Tentu saja itu adalah alasan yang sangat benar. Namun demikian, ada salah satu faktor lagi menurutku yg bisa membuat orang tertib atau rusuh, yaitu teladan.
Salah satu contoh yang aku alami sendiri adalah dalam hal berlalu lintas. Pernah suatu kali aku berhenti di lampu merah (maksudnya di perempatan dengan lampu pengatur lalu lintas). Karena aku yg paling awal kena lampu merah, maka aku berhenti tepat di belakang garis batas. Beberapa saat kemudian, satu dua sepeda motor juga berhenti di sebelahku, juga di belakang garis batas.
Tidak berapa lama kemudian, ada satu sepeda motor yang berhenti melewati garis batas, lumayan maju ke depan meskipun lampu masih menyala merah. Dan ternyata, sepeda motor di sebelahku tiba-tiba juga ikut maju melewati garis batas. Dan selanjutnya diikuti oleh beberapa sepeda motor lain. Kemudian, saat kendaraan yang dari jalur lain sudah sepi, para sepeda motor yang melewati batas itu langsung jalan meskipun belum kesempatannya mendapatkan lampu hijau. Dan disusul beberapa sepeda motor yg lain dari belakangku.
Kejadian semacam itu tidak satu atau dua kali ku
amati, tapi berkali-kali. Sebagian besar di Denpasar, Bali. Sedangkan di Jakarta, hampir selalu pasti ada sepeda motor yang melewati garis batas apabila berhenti di lampu merah. Jadi, di Jakarta lebih parah kelakuan pengendara untuk tidak mematuhi peraturan dan rambu lalu lintas. Tapi bukan itu fokusnya di tulisan ini.
Dari pengamatanku, apabila ada salah satu saja pengendara yang menunjukkan perilaku yang tidak tertib atau yang melanggar aturan, ada kemungkinan besar untuk ditiru oleh pengendara-pengendara yang lain untuk berlaku tidak tertib atau melanggar aturan juga.
Dilihat dari posisinya, pengendara yang melanggar garis batas perempatan itu pasti yg ada di depan dan ditiru oleh pengendara-pengendara lain di belakangnya. Pengendara di depan seolah-oleh memberi contoh untuk diikuti. Apabila pengendara di depan berhenti tepat di belakang garis dan tidak menerobos lampu merah, hampir dapat dipastikan pengendara di belakangnya akan menunggu. Kalaupun tidak sabar menunggu, pasti akan tertahan oleh pengendara di depannya sehingga tidak punya kesempatan untuk menerobos garis batas, bahkan menerobos lampu merah.
Lain daripada itu, ada kondisi yang sangat lain di Jakarta. Dari pengalamanku 2 tahun berkendara di Jakarta, apabila pengendara yang di depan berhenti karena lampu merah, sedangkan kendaraan dari arah lain kosong, maka pengendara di belakangnya hampir selalu mengklakson agar kendaran di depannya menerobos lampu merah.
Contohnya ada di lampu merah depan monas (untuk penyeberang jalan), lampu merah pertigaan BCA pondok indah, lampu merah pondok indah mall, lampu merah radio dalam, lampu merah karang tengah, dan mungkin masih banyak lagi di jalur-jalur lain yang jarang aku lewati. Rasa-rasanya ada kelainan pada sebagian besar pengendara di Jakarta dan sekitarnya.
Gambaran di atas menunjukkan pengaruh keteladanan dalam aktivitas dan perilaku manusia, terutama saudara-saudara kita yang hidup di Indonesia ini. Bagaimana dengan para pemimpin kita, khususnya pejabat pemerintah dan wakil rakyat anggota dewan yang terhormat, apakah mereka sudah menunjukkan suatu teladan yg baik bagi rakyat yang dipimpinnya? Saya kira masih kurang baik dan kurang banyak yang baik. Lihatlah bagaimana jalannya rapat paripurna itu berlangsung hingga dini hari sebagai contohnya.
Semua anggota dewan menginterupsi berebut bicara, yang tidak kebagianpun menyeletuk saja seenaknya. Iya kalau isi celetukannya bermakna dan berisi, sayangnya tidak. Permainan kata-kata, bersilat lidah, potong memotong lawan bicara, hingga drama dorong mendorong dan hampir terjadi baku hantam mewarnai sidang paripurna itu. Padahal sering sekali diucapkan dalam sidang itu sesuai dengan tata tertib yang ada atau yang sudah disepakati. Kenyataannya sama sekali tidak tertib. Kalau seperti itu menjalankan tata tertib persidangan di dpr, jangan heran kalau para demonstran di jalan-jalan itu juga berdemo seenaknya mengganggu ketertiban umum? Mungkin yang diteladani para demonstran itu juga para wakil rakyat yang kemarin sidang. Kalau orang berdemo ngomong teriak-teriak dan menghujat seenaknya juga mungkin meneladani para wakilnya di dpr. Kalau orang demo tidak tahu aturan ya tergambarkan oleh anggota dewan yg terhormat itu.
Sebelum lupa, saya mesti kasih catatan dan permohonan maaf bahwa mungkin tidak semua wakil rakyat seperti itu. Seperti halnya dengan rakyat, yang tidak setuju dengan harga bbm naik pun tidak semuanya ikut demo, apalagi berbuat rusuh. Untung tidak semuanya, bayangkan kalau 240 juta penduduk Indonesia demo semuanya. Bisa bubar kocar-kacir aparat yang mengamankannya.

Apa yang dilakukan pemimpin, itulah yang ditiru anak buahnya.

Bagaimana perilaku pemimpin para wakil rakyat pun menjadi bumbu tersendiri dalam sidang paripurna kemarin itu. Seorang ketua dpr yg terhormat bp. Marzuki Ali memimpin rapat sidang paripurna dengan berbagai akrobat sirkus polytikus (banyak tikus???). Mulai sahut menyahut bin potong memotong dengan para anggotanya, menetapkan mekanisme jalannya sidang dan merusaknya sendiri, salah menyebut nama partai (entah disengaja atau tidak) sehingga memancing emosi wakil partai yang bersangkutan, hingga yang paling keterlaluan adalah menyalah-nyalahkan setjen dpr di depan sidang paripurna yg ditayangkan tv nasional ke seluruh pelosok Indonesia, bahkan mungkin sampai keluar negeri (hanya gara-gara soal fotokopian yang belum selesai). Seperti itukah teladan dari seorang ketua dpr yg dipilih oleh jutaan rakyat Indonesia?
Aku nggak bisa membayangkan seandainya seluruh mikropon itu menyala dan semua wakil rakyat di dalam ruang sidang saling ngomong sakkarepe dewe berbarengan tanpa ada yang mau mengalah. Atau mungkin membayangkan setjen dpr yang kena malu menjadi ngamuk atau ngambek terus memboikot pekerjaannya.
Dan bagaimana seandainya seluruh rakyat mencontoh kelakuan para angota dpr itu yang ngomong semuanya nggak mau mengalah, semua rakyat saling gontok-gontokan mengikuti gaya anggota dpr seperti itu. Dan lebih ngeri lagi kalau nanti rakyat sendiri semuanya yang akan memboikot dpr, dan bahkan memboikot pemerintah dan saling memboikot antar rakyat. Bisa pingsan negara ini.

Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar