Sering kita dengar orang mengatakan bahwa orang Indonesia itu kalau
di Singapura bisa berlaku tertib, sedangkan di negaranya sendiri, di
Indonesia, tidak pernah tertib. Kebanyakan bilang salah satu alasannya
adalah karena hukum dan peraturan ketertiban di Singapura ditegakkan
dengan benar-benar. Tentu saja itu adalah alasan yang sangat benar.
Namun demikian, ada salah satu faktor lagi menurutku yg bisa membuat
orang tertib atau rusuh, yaitu teladan.
Salah satu contoh yang aku alami sendiri adalah dalam hal berlalu
lintas. Pernah suatu kali aku berhenti di lampu merah (maksudnya di
perempatan dengan lampu pengatur lalu lintas). Karena aku yg paling awal
kena lampu merah, maka aku berhenti tepat di belakang garis batas.
Beberapa saat kemudian, satu dua sepeda motor juga berhenti di
sebelahku, juga di belakang garis batas.
Tidak berapa lama kemudian, ada satu sepeda motor yang berhenti
melewati garis batas, lumayan maju ke depan meskipun lampu masih menyala
merah. Dan ternyata, sepeda motor di sebelahku tiba-tiba juga ikut maju
melewati garis batas. Dan selanjutnya diikuti oleh beberapa sepeda
motor lain. Kemudian, saat kendaraan yang dari jalur lain sudah sepi,
para sepeda motor yang melewati batas itu langsung jalan meskipun belum
kesempatannya mendapatkan lampu hijau. Dan disusul beberapa sepeda motor
yg lain dari belakangku.
Kejadian semacam itu tidak satu atau dua kali ku
amati, tapi
berkali-kali. Sebagian besar di Denpasar, Bali. Sedangkan di Jakarta,
hampir selalu pasti ada sepeda motor yang melewati garis batas apabila
berhenti di lampu merah. Jadi, di Jakarta lebih parah kelakuan
pengendara untuk tidak mematuhi peraturan dan rambu lalu lintas. Tapi
bukan itu fokusnya di tulisan ini.
Dari pengamatanku, apabila ada salah satu saja pengendara yang
menunjukkan perilaku yang tidak tertib atau yang melanggar aturan, ada
kemungkinan besar untuk ditiru oleh pengendara-pengendara yang lain
untuk berlaku tidak tertib atau melanggar aturan juga.
Dilihat dari posisinya, pengendara yang melanggar garis batas
perempatan itu pasti yg ada di depan dan ditiru oleh
pengendara-pengendara lain di belakangnya. Pengendara di depan
seolah-oleh memberi contoh untuk diikuti. Apabila pengendara di depan
berhenti tepat di belakang garis dan tidak menerobos lampu merah, hampir
dapat dipastikan pengendara di belakangnya akan menunggu. Kalaupun
tidak sabar menunggu, pasti akan tertahan oleh pengendara di depannya
sehingga tidak punya kesempatan untuk menerobos garis batas, bahkan
menerobos lampu merah.
Lain daripada itu, ada kondisi yang sangat lain di Jakarta. Dari
pengalamanku 2 tahun berkendara di Jakarta, apabila pengendara yang di
depan berhenti karena lampu merah, sedangkan kendaraan dari arah lain
kosong, maka pengendara di belakangnya hampir selalu mengklakson agar
kendaran di depannya menerobos lampu merah.
Contohnya ada di lampu merah depan monas (untuk penyeberang jalan),
lampu merah pertigaan BCA pondok indah, lampu merah pondok indah mall,
lampu merah radio dalam, lampu merah karang tengah, dan mungkin masih
banyak lagi di jalur-jalur lain yang jarang aku lewati. Rasa-rasanya ada
kelainan pada sebagian besar pengendara di Jakarta dan sekitarnya.
Gambaran di atas menunjukkan pengaruh keteladanan dalam aktivitas dan
perilaku manusia, terutama saudara-saudara kita yang hidup di Indonesia
ini. Bagaimana dengan para pemimpin kita, khususnya pejabat pemerintah
dan wakil rakyat anggota dewan yang terhormat, apakah mereka sudah
menunjukkan suatu teladan yg baik bagi rakyat yang dipimpinnya? Saya
kira masih kurang baik dan kurang banyak yang baik. Lihatlah bagaimana
jalannya rapat paripurna itu berlangsung hingga dini hari sebagai
contohnya.
Semua anggota dewan menginterupsi berebut bicara, yang tidak
kebagianpun menyeletuk saja seenaknya. Iya kalau isi celetukannya
bermakna dan berisi, sayangnya tidak. Permainan kata-kata, bersilat
lidah, potong memotong lawan bicara, hingga drama dorong mendorong dan
hampir terjadi baku hantam mewarnai sidang paripurna itu. Padahal sering
sekali diucapkan dalam sidang itu sesuai dengan tata tertib yang ada
atau yang sudah disepakati. Kenyataannya sama sekali tidak tertib. Kalau
seperti itu menjalankan tata tertib persidangan di dpr, jangan heran
kalau para demonstran di jalan-jalan itu juga berdemo seenaknya
mengganggu ketertiban umum? Mungkin yang diteladani para demonstran itu
juga para wakil rakyat yang kemarin sidang. Kalau orang berdemo ngomong
teriak-teriak dan menghujat seenaknya juga mungkin meneladani para
wakilnya di dpr. Kalau orang demo tidak tahu aturan ya tergambarkan oleh
anggota dewan yg terhormat itu.
Sebelum lupa, saya mesti kasih catatan dan permohonan maaf bahwa
mungkin tidak semua wakil rakyat seperti itu. Seperti halnya dengan
rakyat, yang tidak setuju dengan harga bbm naik pun tidak semuanya ikut
demo, apalagi berbuat rusuh. Untung tidak semuanya, bayangkan kalau 240
juta penduduk Indonesia demo semuanya. Bisa bubar kocar-kacir aparat
yang mengamankannya.
Apa yang dilakukan pemimpin, itulah yang ditiru anak buahnya.
Bagaimana perilaku pemimpin para wakil rakyat pun menjadi bumbu
tersendiri dalam sidang paripurna kemarin itu. Seorang ketua dpr yg
terhormat bp. Marzuki Ali memimpin rapat sidang paripurna dengan
berbagai akrobat sirkus polytikus (banyak tikus???). Mulai sahut
menyahut bin potong memotong dengan para anggotanya, menetapkan
mekanisme jalannya sidang dan merusaknya sendiri, salah menyebut nama
partai (entah disengaja atau tidak) sehingga memancing emosi wakil
partai yang bersangkutan, hingga yang paling keterlaluan adalah
menyalah-nyalahkan setjen dpr di depan sidang paripurna yg ditayangkan
tv nasional ke seluruh pelosok Indonesia, bahkan mungkin sampai keluar
negeri (hanya gara-gara soal fotokopian yang belum selesai). Seperti
itukah teladan dari seorang ketua dpr yg dipilih oleh jutaan rakyat
Indonesia?
Aku nggak bisa membayangkan seandainya seluruh mikropon itu menyala
dan semua wakil rakyat di dalam ruang sidang saling ngomong sakkarepe
dewe berbarengan tanpa ada yang mau mengalah. Atau mungkin membayangkan
setjen dpr yang kena malu menjadi ngamuk atau ngambek terus memboikot
pekerjaannya.
Dan bagaimana seandainya seluruh rakyat mencontoh kelakuan para
angota dpr itu yang ngomong semuanya nggak mau mengalah, semua rakyat
saling gontok-gontokan mengikuti gaya anggota dpr seperti itu. Dan lebih
ngeri lagi kalau nanti rakyat sendiri semuanya yang akan memboikot dpr,
dan bahkan memboikot pemerintah dan saling memboikot antar rakyat. Bisa
pingsan negara ini.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar